Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Menjaga Kesehatan Mental Menurut Islam

Menjaga Kesehatan Mental Menurut Islam

Abstrak

Gangguan mental yang tidak diatasi dengan tepat dapat
semakin memburuk dan pada akhirnya akan membebani keluarga, masyarakat, dan
pemerintah. Penulisan ini menggunakan metode analisis deskriptif eksploratif
dengan melakukan tinjauan literatur dan kajian data sekunder. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa data Riskesdas 2018 mengindikasikan bahwa prevalensi gangguan
mental berat di Indonesia mencapai 7% (per mil dari jumlah penduduk) dan paling
banyak terjadi di Bali, Yogyakarta, NTB, dan Aceh. Sementara itu, gangguan
mental emosional yang ditandai dengan depresi dan kecemasan memiliki prevalensi
sebesar 9,8% dan terbanyak terjadi di Sulawesi Tengah, Gorontalo, NTT, dan
Maluku.



Untuk mencegah gangguan mental, gerakan kesehatan mental
harus lebih fokus pada pencegahan dan peran komunitas dalam membantu
meningkatkan fungsi mental individu. Kesehatan jiwa tidak hanya terkait dengan
masalah medis atau psikologis, tetapi juga memiliki dimensi sosial, budaya,
spiritual, dan religius. Oleh karena itu, penanganan gangguan mental tidak
hanya dilakukan secara medis, tetapi juga melibatkan aspek keagamaan, seperti
bersabar, membiasakan diri untuk melakukan kebiasaan baik, melakukan kegiatan positif,
meningkatkan keyakinan pada nilai-nilai tertentu, membaca doa-doa, ayat-ayat
Alquran, zikir-zikir, hadis Nabi, dan melaksanakan shalat malam. Selain itu,
bergaul dengan orang baik atau salih, berpuasa, mengikuti pengajian pengobatan
Islami, mengikuti pengajian Tajwid dan Fiqih, mengikuti Majelis Zikir, serta
belajar Dakwah dan ilmu keislaman juga dianjurkan.



Pendahuluan



Media informasi, baik cetak maupun elektronik, setiap hari
selalu memberitakan kasus kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga,
perkosaan, pelecehan seksual, prostitusi, dan berbagai bentuk kejahatan
lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat kita mengalami krisis identitas
yang berujung pada krisis moral dan spiritual. Yang lebih mengkhawatirkan
adalah fenomena krisis moral dan spiritual ini tidak hanya terjadi pada orang
dewasa, tetapi juga melibatkan anak-anak.



Dari situasi masyarakat saat ini, terlihat bahwa kesehatan
mental pada setiap individu tidak dapat disamakan. Hal ini semakin memperkuat
urgensi pembahasan tentang kesehatan mental yang berfokus pada bagaimana
memperkuat kemampuan individu, keluarga, dan masyarakat dalam menemukan,
memelihara, dan meningkatkan kesehatan mental mereka untuk menghadapi tantangan
dalam kehidupan sehari-hari (Dewi, 2012).



Menurut Prof. Drs. Subandi, M.A, Ph.D., seorang ahli
psikiatri, masalah kesehatan mental dan gangguan jiwa memiliki dimensi yang
cukup kompleks. Kesehatan mental tidak hanya terkait dengan masalah medis atau
psikologis semata, tetapi juga memiliki dimensi sosial budaya dan dimensi
spiritual serta religius. (Matta, 2016).



Menurut WHO pada tahun 2013, memiliki kesehatan mental yang
baik memungkinkan seseorang untuk menyadari potensi yang dimilikinya, mengatasi
tekanan kehidupan yang biasa, bekerja dengan produktif, dan memberikan
kontribusi pada masyarakat di sekitarnya.



Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2018 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, ditemukan bahwa sekitar 9,8%
atau sekitar 26 juta dari total 267 juta penduduk di Indonesia mengalami
"gangguan mental emosional" atau kondisi gangguan kesehatan jiwa.
Jika dilihat secara detail, prevalensi gangguan mental berat pada penduduk
Indonesia sekitar 7% per seribu penduduk, dengan jumlah terbanyak terdapat di
Bali, Yogyakarta, NTB dan Aceh. Sementara itu, gangguan mental emosional dengan
gejala depresi dan kecemasan mencapai 9,8% untuk usia 15 tahun ke atas, dan
terbanyak terdapat di Sulawesi Tengah, Gorontalo, NTT dan Maluku (Riskesdas,
2018).



Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa data hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan adanya peningkatan
prevalensi gangguan kesehatan jiwa di Indonesia. Peningkatan ini merupakan
perbandingan dengan hasil Riskesdas tahun 2013 yang menunjukkan prevalensi
gangguan mental emosional dengan gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk
usia 15 tahun ke atas, atau sekitar 16 juta orang. Sedangkan untuk gangguan
mental berat seperti skizofrenia, prevalensinya adalah 1,7% per mil. Dengan
kata lain, sekitar 1-2 orang dari 1000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan
jiwa berat. (Riskesdas,2013).



Gangguan jiwa berat dapat mengakibatkan penurunan
produktivitas pada penderita dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar
bagi keluarga, masyarakat, serta pemerintah. Selain itu, gangguan jiwa juga
dapat berdampak pada penurunan produktivitas manusia dalam jangka panjang dan
menambah beban negara. Kondisi neuropsikiatrik menyumbang sekitar 13% dari
total Disability Adjusted Life Years (DALYs) yang hilang akibat semua penyakit
dan cedera di seluruh dunia, dan diperkirakan akan meningkat hingga 15% pada
tahun 2020. Kasus depresi sendiri menyumbang sekitar 4,3% dari beban penyakit
dan menjadi salah satu penyebab kecacatan terbesar di dunia, terutama bagi
perempuan (WHO, 2013).



Kasus gangguan kesehatan mental di seluruh dunia masih
menjadi masalah yang signifikan dan tidak boleh diabaikan. Saat ini,
diperkirakan ada sekitar 450 juta orang yang menderita gangguan mental dan
perilaku. Data dari WHO regional Asia Pasifik menunjukkan bahwa jumlah kasus
gangguan depresi terbanyak di India (56.675.969 kasus atau 4,5% dari jumlah
populasi) dan terendah di Maladewa (12.739 kasus atau 3,7% dari populasi). Di
Indonesia sendiri, diperkirakan terdapat 9.162.886 kasus atau sekitar 3,7% dari
populasi yang menderita gangguan depresi (WHO,2017). Oleh karena itu, perlu
dilakukan tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah gangguan kesehatan mental
ini.



Masih menjadi perhatian dalam penanganan gangguan kesehatan
mental di Indonesia adalah kurangnya layanan dan sarana kesehatan jiwa di
berbagai wilayah, yang mengakibatkan banyak penderita gangguan kesehatan mental
yang tidak terlayani dengan baik. Data menunjukkan bahwa kesenjangan pengobatan
gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen, artinya kurang dari
10 persen penderita gangguan jiwa yang menerima terapi dari petugas kesehatan.
(Sumber: Riskesdas,2018)



Saat ini, Indonesia masih menghadapi kendala dalam
penanganan kesehatan mental karena jumlah fasilitas kesehatan jiwa yang
terbatas, distribusi yang tidak merata, dan kualitas yang bervariasi. Hanya
sejumlah 50 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan 1 Rumah Sakit Khusus Kesehatan Jiwa
(RSKO) yang tersebar di 26 dari 34 provinsi di Indonesia, dengan 8 provinsi
yang tidak memiliki RSJ. Sebanyak 151 dari total 445 Rumah Sakit Umum (RSU)
juga menyediakan layanan kesehatan jiwa atau sekitar 33%, sedangkan hanya 1934
dari 9005 puskesmas atau 21,47% yang melayani kesehatan jiwa. Hanya 249 dari
total 445 RSU dan sekitar 30% dari seluruh puskesmas di Indonesia yang memiliki
program layanan kesehatan jiwa. Oleh karena itu, kesehatan mental masih menjadi
masalah serius di Indonesia. (Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan
Jiwa, 2014).



Hanya sedikit penduduk Indonesia yang mendapatkan pengobatan
medis untuk depresi, yaitu sekitar 6,1%. Padahal depresi dapat menjadi gejala
awal dari gangguan kesehatan mental yang lebih serius dan kompleks, yang bisa
dipicu oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial. Jika tidak ditangani
dengan tepat, maka jumlah penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia
diperkirakan akan terus meningkat. Oleh karena itu, penting bagi setiap negara
untuk memiliki program penanggulangan gangguan kesehatan mental yang efektif.
(Riskesdas, 2018).



Firmansyah (2017) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang
dapat menunjukkan apakah seseorang memiliki kesehatan mental yang baik atau
buruk, yaitu iman, ilmu, dan amal saleh atau tindakan produktif. Dalam hal ini,
seseorang dapat memelihara kesehatan mentalnya dengan memanfaatkan kemampuan
intelektual, emosional, dan motivasinya secara maksimal dan membawa dirinya
pada pencapaian tujuan manusiawi yang sesuai dengan nilai moral/akhlak yang
diatur dalam Islam. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk meninjau
kondisi kesehatan mental masyarakat saat ini dan bagaimana cara penanganan
gangguan mental secara islami.



Metode



Tulisan ini menggunakan analisis situasi melalui eksplorasi
deskriptif dengan mengambil sumber informasi dari beberapa sumber, seperti
hasil survei Riskesdas 2013 dan 2018, laporan dari WHO, penelitian terdahulu
tentang kesehatan mental, serta peraturan dan kebijakan yang terkait. Selain
itu, sumber informasi juga meliputi buku, jurnal, dan artikel terkait dari
media elektronik. Isi dari tulisan ini membahas tentang kondisi kesehatan
mental yang terjadi saat ini dan bagaimana penanganan gangguannya dengan
menggunakan pendekatan islami.



Pembahasan teori



Fokus utama dari kesehatan mental adalah manusia, terutama
dalam hal masalah-masalah kesehatan jiwa/mental manusia. Objek formal kesehatan
mental berkaitan dengan bagaimana menjaga kesehatan mental manusia secara
sistematis dan terencana agar terhindar dari gejala gangguan jiwa dan penyakit
jiwa. Daradjat, seorang ahli kesehatan mental, menekankan pentingnya menjaga
kesehatan mental dengan menghindari gejala gangguan jiwa (neurosis) dan
penyakit jiwa (psikosis), yang menjadi fokus utama dalam pembahasan kesehatan
mental.



WHO mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi
kesejahteraan individu yang mampu mengenali potensi diri sendiri, menghadapi
tekanan kehidupan sehari-hari dengan baik, mampu bekerja secara efektif, dan
memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. (WHO, 2013)



Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa, kesehatan jiwa didefinisikan sebagai keadaan di mana seseorang dapat
tumbuh dan berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga ia
memiliki kesadaran akan kemampuan dirinya, mampu mengatasi tekanan hidup, mampu
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat
sekitarnya.



Menurut El-Quusy (1996), kesehatan mental atau jiwa yang sehat
adalah kondisi dimana berbagai fungsi jiwa yang berbeda-beda terintegrasi
dengan baik dan didukung oleh kemampuan untuk mengatasi tekanan emosional yang
ringan. Hal ini memungkinkan seseorang merasakan kebahagiaan dan meraih
prestasi secara positif. El-Quusy juga menyebutkan bahwa gangguan jiwa
(neurosis) dan penyakit jiwa (psychosis) berasal dari ketidakmampuan seseorang
dalam menghadapi kesulitan secara wajar atau tidak bisa beradaptasi dengan
situasi yang dihadapi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri
tersebut adalah frustasi (tekanan perasaan), konflik batin (internal conflict),
dan kecemasan (anxiety).



El-Quussy (1996) mengutip pandangan Al Farabi bahwa
kesehatan jiwa atau mental manusia berasal dari akal aktifnya. Apabila akal aktif
manusia dalam keadaan sehat, maka kesehatan mentalnya juga akan sehat.
Sebaliknya, jika akal aktifnya tidak sehat, maka kesehatan mentalnya akan
terganggu.



Klasifikasi gangguan kesehatan mental



Menurut Burhanuddin (1999), gangguan kesehatan mental dapat
disebabkan oleh berbagai perasaan seperti kecemasan, rasa iri hati, kesedihan,
perasaan rendah diri, kemarahan, keraguan, dan sejenisnya.



Terjadi berbagai masalah pada gangguan mental yang ditandai
oleh gejala yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat dikenali dengan kombinasi
abnormal pada pikiran, emosi, perilaku, dan hubungan interpersonal yang
beragam. Beberapa contoh dari gangguan mental tersebut adalah skizofrenia,
depresi, gangguan karena penyalahgunaan narkoba, gangguan afektif bipolar,
demensia, cacat intelektual, dan gangguan perkembangan termasuk autisme,
seperti yang dijelaskan oleh WHO pada tahun 2017.



Istilah "psikosomatik" (kejiwabadanan) digunakan
dalam ilmu kedokteran untuk menjelaskan hubungan erat antara keadaan jiwa dan
tubuh. Gangguan kejiwaan dapat menyebabkan tubuh juga menderita, seperti susah,
cemas, dan gelisah. DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fifth Edition) tahun 2013 mengklasifikasikan gangguan kejiwaan ke
dalam 19 kriteria, seperti gangguan neuroperkembangan, spektrum skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya, gangguan bipolar dan terkait, gangguan depresi,
gangguan kecemasan, gangguan obsesif-kompulsif dan terkait, gangguan terkait
trauma dan stres, gangguan disosiatif, gangguan somatik dan terkait, gangguan
makan dan pemakanan, gangguan eliminasi, gangguan tidur, disfungsi seksual,
disforia gender, gangguan perilaku, kontrol impuls, dan perilaku melanggar,
gangguan terkait zat dan kecanduan, gangguan neurokognitif, gangguan
kepribadian, dan gangguan parafilia.



Penanganan gangguan kesehatan mental



WHO telah menetapkan visi untuk Rencana Aksi Kesehatan
Mental Dunia 2013-2020, di mana kesehatan mental harus ditingkatkan,
dipromosikan, dan dilindungi. Tujuannya adalah untuk mencegah gangguan mental
dan memberikan hak asasi manusia yang layak dan akses kualitas tinggi terhadap
pelayanan kesehatan dan sosial yang sesuai dengan budaya, pada waktu yang tepat
untuk mendorong pemulihan, sehingga mencapai kesehatan yang optimal dan
partisipasi penuh dalam masyarakat dan tempat kerja, tanpa stigmatisasi dan
diskriminasi.



Upaya untuk meningkatkan kesehatan mental di Indonesia
merujuk pada serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mencapai kondisi
kesehatan mental yang optimal bagi individu, keluarga, dan masyarakat.
Pendekatan yang digunakan mencakup promosi, pencegahan, pengobatan, dan
rehabilitasi yang dilakukan secara komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan UU tahun
2014.



Menurut Ramayulis (2002), ketika manusia mengalami
ketidakberdayaan, mereka dapat kehilangan arah dan menjadi pasrah. Namun, dalam
situasi seperti itu, ajaran agama dapat membantu mereka untuk pulih dari
keadaan sulit tersebut dan memberikan arti pada hidup mereka.



Ada tiga aktivitas yang memiliki potensi untuk membantu
seseorang menemukan makna hidup bagi dirinya, yaitu:



1. Kegiatan produktif seperti berkarya, bekerja,
menciptakan, dan memenuhi tugas dan tanggung jawab dengan baik.



2. Keyakinan dan pemahaman atas nilai-nilai tertentu seperti
kebenaran, keindahan, kebajikan, dan keimanan.



3. Sikap yang diambil dalam menghadapi situasi sulit dan
penderitaan yang tak terhindarkan.



Al-Kindi, seperti yang dikutip oleh el-Quussy (1996),
menyatakan bahwa gangguan kejiwaan harus dihindari sebagaimana halnya gangguan
fisik. Ada beberapa cara untuk memperbaiki dan menyembuhkan keadaan psikis, di
antaranya:



1. Memiliki kesabaran yang lebih dalam dalam memperbaiki
diri daripada kesabaran dalam menyembuhkan gangguan fisik.



2. Melatih diri untuk melakukan kebiasaan yang baik dalam
hal-hal yang kecil dan sepele.



3. Menerapkan kebiasaan yang baik pada



 hal-hal yang lebih
sulit dan meningkatkan pembiasaan pada hal yang lebih besar.



4. Jika kebiasaan baik tersebut sudah terbentuk,
meningkatkan level yang lebih tinggi lagi untuk membiasakan hal-hal yang lebih
besar seperti hal-hal yang lebih kecil.



Menurut Ilyas (2017), ada beberapa jenis terapi yang dapat
diberikan kepada orang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Terapi
tersebut antara lain:



1. Membaca doa-doa, ayat-ayat Alquran, zikir, dan hadis
nabi.



2. Membaca Alquran dengan mencoba memahami artinya.



3. Melakukan shalat malam.



4. Bergaul dengan orang yang baik atau salih.



5. Berpuasa.



6. Melakukan zikir pada malam hari yang lama.



7. Mengikuti pengajian pengobatan Islam.



8. Mengikuti pengajian tentang Tajwid dan Fiqih.



9. Mengikuti Majelis Zikir.



10. Belajar tentang Dakwah dan ilmu keislaman.



Kesimpulan



Dalam kesimpulannya, kesehatan mental adalah kemampuan
seseorang untuk beradaptasi dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
sekitar dengan baik. Kesehatan mental dapat dicapai ketika fungsi jiwa bekerja
dengan harmonis, seseorang memanfaatkan potensi diri dengan baik, dan mampu
menghadapi masalah serta terhindar dari konflik batin. Namun, hasil kajian
menunjukkan bahwa banyak masyarakat di Indonesia mengalami gangguan mental, dan
angka prevalensi cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu,
orang dengan gangguan mental seringkali mengalami perlakuan dan penanganan yang
tidak tepat karena adanya stigma yang keliru. Oleh karena itu, diperlukan
intervensi dan pendekatan kesehatan masyarakat untuk mengatasi masalah ini.
Pelayanan pada gangguan kesehatan mental di Indonesia juga masih terbatas dan
menjadi perhatian yang serius.



Selain metode medis, Islam memiliki peran dalam membantu
pelayanan kesehatan jiwa dengan memberikan terapi yang didasarkan pada ajaran
Islam. Terapi-terapi ini dapat dilakukan oleh orang lain atau diri sendiri
dengan cara bersabar, membiasakan diri dengan kebiasaan yang terpuji, melakukan
kegiatan positif, meningkatkan keyakinan atas nilai-nilai tertentu seperti
kebenaran, keindahan, kebajikan, keimanan, membaca doa-doa, ayat-ayat Alquran,
zikir, dan hadis nabi, melaksanakan shalat malam, bergaul dengan orang baik
atau salih, berpuasa, mengikuti pengajian pengobatan Islam, pengajian Tajwid
dan Fiqih, Majelis Zikir, serta belajar Dakwah dan ilmu keislaman.



Referensi



Daftar pustaka di atas mencakup berbagai referensi terkait
dengan kesehatan mental dan gangguan jiwa. Beberapa di antaranya adalah
buku-buku teks tentang kesehatan mental, seperti "Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder Edition 'DSM-5'" dari American Psychiatric
Association dan "Kesehatan Mental" karya Burhanuddin Yusak. Selain
itu, ada juga buku tentang konseling dan terapi Islami seperti "Konseling
dan Terapi Islami" karya Lahmuddin Lubis, serta buku tentang psikologi
agama seperti "Psikologi Agama" karya Ramayulis.



Selain buku, daftar pustaka juga mencakup laporan dan riset
terkait dengan kesehatan mental, seperti "Laporan Riset Kesehatan Dasar
2018" dan "Rencana Aksi Kegiatan Tahun 2015-2019 Direktorat Bina
Kesehatan Jiwa". Terdapat juga artikel dan sumber lainnya, seperti laporan
Human Rights Watch tentang kekerasan terhadap penyandang disabilitas
psikososial di Indonesia dan faktasheet dari WHO tentang gangguan mental.



Secara keseluruhan, daftar pustaka ini memberikan beragam
informasi dan referensi bagi mereka yang tertarik dengan kesehatan mental dan
upaya-upaya dalam meningkatkan pelayanan kesehatan mental di Indonesia.